Setiap kali tahun baru Hijriah datang, harapan-harapan baru selalu membersit di hati Umat Islam. Tahun baru ditengarai akan membawa harapan-harapan baru dalam kehidupan umat. Sebenarnya bukan hanya harapan-harapan baru yang membentang di hadapan Umat Islam, tetapi sekaligus juga tantangan-tantangan baru yang menghadang di setiap lini kehidupan umat.
Hidup memang merupakan pergulatan keras antara harapan dan tantangan. Harapan harus dibumikan dengan kerja-kerja keras agar menjadi kenyataan. Harapan harus diraih melalui keberhasilan mengatasi berbagai tantangan. Tak ada pergumulan hidup tanpa tantangan. Tantangan adalah suatu keniscayaan. Setiap tantangan harus direspons dengan tepat untuk menggapai harapan (baru) yang dipertaruhkan oleh Umat Islam.
Inilah secercah pengantar yang perlu kita resapi dalam rangka memasuki tahun baru Hijriah, 1 Muharram 1438 H. Sebuah goresan sejarah yang sangat monumental dalam perjalanan hidup Rasulullah SAW bersama para sahabat, yaitu hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah. Dalam peristiwa tersebut tampak sosok manusia yang begitu kokoh dalam memegang prinsip yang diyakini, tegar dalam mempertahankan aqidah, dan gigih dalam memperjuangkan kebenaran. Sehingga sejarah pun dengan bangga menorehkan tinta emasnya untuk mengenang peristiwa tersebut agar dapat dijadikan tolak ukur dalam pembangunan masyarakat madani.
Peristiwa Hijrah
Secara historis, tahun Hijriah ditetapkan oleh Umar ibnul Khattab yang menjabat sebagai khalifah ar-Rasyidin ke-2 (13-23 H/634-644 M). Penetapan tahun baru Hijriah bermula dari sepucuk surat penting yang dikirim oleh seorang gubernur kepada Khalifah Umar. Surat itu ternyata tidak bertanggal. Menurut pengamatan Umar, ada sesuatu yang tidak lengkap pada surat itu karena surat itu tidak disertai tanggal pengiriman.
Singkat cerita, Umar pun bermusyawarah dengan jajaran pemerintahannya untuk menetapkan tanggal dan tahun kelender umat Islam. Khalifah Umar menetapkan bahwa awal penanggalan Islam (tahun Hijriah) didasarkan pada momentum peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Tahun Hijriah tidak dihitung berdasarkan peristiwa kelahiran Nabi. Tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tahun 622 Masehi.
Hijrah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya karena pada saat itu kaum kafir Quraisy berkomplot hendak membunuh Nabi dan para pengikutnya. Kaum Quraisy menentang keras penyiaran Islam yang dilakukan oleh Nabi karena gerakan Nabi itu dianggap sebagai ancaman yang hendak meruntuhkan tradisi dan kepercayaan politeistik kaum Quraisy. Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang jumlahnya sangat sedikit lantas melaksanakan hijrah dari Mekkah ke Madinah, mencari tempat yang aman dan strategis dalam rangka menyebarkan agama Islam.
Apabila dianalisis dari sejarah di atas, makna hijrah dalam pembentukan masyarakat baru dan maju di Madinah itu, ternyata dimulai oleh Rasulullah dengan tiga langkah utama. Pertama, membangun Masjid sebagai pusat kegiatan umat, pusat pemerintahan dan kegiatan kerohaniaan lainnya. Kedua, membuat ikatan persaudaraan seluruh kaum muslimin dengan mengenyampingkan aspek-aspek kesukuan. Ketiga, menyususn dustur (undang-undang) yang mengatur sistem kemasyarakatan kaum muslimin dan menjelaskan sistem hubungan sosial antara mereka dengan pemeluk agama lainnya, terutama kaum Yahudi.
Kelihatannya, tindakan ini sejalan dengan konsep hijrah yang dikemukakannya dalam hadits, “Hakikat Hijrah adalah hijrah dari mental Jahiliah ke mental Islamiyah. “hijrah yang sesungguhnya adalah upaya mengubah sikap mental dari negatif menjadi positif, yaitu akhlaq al-karimah. Ia mengatakan bahwa intisari kemanusiaan adalah akhlaknya. (H.R. Ahmad)
Dari perspektif sejarah, semua yang dilakukan Rasulullah di atas adalah kebalikan dari sifat dan sikap jahiliyah yang ditinggalkan di Mekkah. Membalikkan paradigma jahiliyah yang ada di Mekah, dan menggantikannya dengan paradigma Islamiyah dengan konsep Madinahnya, itulah yang disebut oleh Rasulullah dengan hijrah. Artinya, walaupun beliau memang pindah tempat, tetapi hijrah yang sesungguhnya bukan perpindahan tempat, melainkan perpindahan watak dan sifat umat.
Agaknya, hal serupa inilah yang perlu ditiru oleh bangsa Indonesia, sebuah bangsa yang kondisi sosial politiknya sangat mirip dengan kondisi masyarakat Jahiliyah dulu sebelum Rasulullah hijrah hijrah ke Madinah. Hidup mengutamakan materi, kebiasaan mempertahankan jabatan dengan segala cara, paham fiodal. Suku atau kelompok lainnya tidak perlu diberi kesempatan, kebiasaan meletakkan hukum menurut kemauan penguasa, dan kebiasaan destruktif lainnya, perlu segera diganti secara total dengan pola hidup madani seperti yang dilakukan Rasulullah.
Dengan kata lain, penulis ingin mengatakan bahwa kondisi masyarakat Indonesia saat ini menyiratkan gejala yang sangat mirip dengan kondisi zaman sebelum periode Madinah. Kecenderungan untuk menilai segala sesuatu dari kacamata materi, kecurangan dan keserakahan sosial, ketidakadilan dan nepotisme, penghalalalan segala cara untuk mencapai tujuan, dan berbagai perilaku destruktif lainnya masih saja menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, perilaku tidak terpuji masih saja mewarnai kehidupan masyarakat secara kasat mata. Seperti hutan dibabat dan dibakar oleh para pelaku bejat dan kasar.
Kekerasan dan kebiringasan sosial, yang pada umumnya terpicu oleh berbagai ketimpangan di atas, betul-betul telah mengusik rasa kedamaian dan ketenangan hidup. Bila tetap dibiarkan terus berkelanjut, maka akan menggerogoti sendi-sendi kehidupan umat dan semakin memperlambat munculnya kebangkitan seperti yang diinginkan kita semua. Oleh sebab itu, momentum peristiwa hijrah Rasulullah ke Madinah amat relevan dicoba kembali menerapkan substansinya dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya pesan dari peristiwan hijrah juga sarat dengan nilai tauhid dan kemanusiaan. Khalifah Umar ibn al-Khattab memaknai peristiwa ini, antara lain, dengan penetapan kalender Islam (Hijriyyah). Kalender Hijriyyah ini sendiri mengandung pesan tauhid yang sangat dalam, bahwa nama-nama hari dalam kalender ini dimulai dengan Ahad (Esa), Itsnain (Senin, dua), dan seterusnya.
Penamaan hari dalam kalender ini tidak lagi dipengaruhi oleh mitologi Yunani atau Romawi yang sarat dengan kemusyrikan seperti tercermin dalam penamaan Sunday (dewa matahari) untuk hari pertama, Monday (dewa bulan) untuk hari kedua, dan seterusnya. Hari keenam dinamai jum’at yang berarti pertemuan, konsolidasi dan persatuan, karena umat Islam (lelaki) wajib melakukan shalat berjamaah di masjid. Sedangkan hari ketujuh dinamai Sabt, yang berarti istirahat, karena umat Islam diharapkan tidak meniru tradisi Yahudi yang pada hari itu melakukan “ibadah” dan berdoa di tembok ratapan (haaith al-mabka). Dengan demikian, peristiwa hijrah merupakan proses reformasi tauhid (iman) dan sekaligus transformasi sosial dan kultural kemanusiaan.
Dalam konteks ini, Hannan al-Lahham dalam bukunya, Hadyu as-Sirah al-Nabawiyyah fi al-Taghyir al-Ijtima'i (2002), menyatakan bahwa hijrah yang selalu aktual dan kontekstual adalah hijrah spiritual. Setiap Muslim dituntut mampu melakukan perubahan menuju peningkatan kualitas iman dan taqwa, ketaqwaan personal dan sekaligus ketaqwaan sosial-kultural. Keteladanan ini ditunjukkan oleh Nabi SAW. ketika sampai di Madinah, yaitu dengan mendirikan masjid sebagai pusat spiritualisasi dan peradaban umat, pemersatuan umat (kaum muhajirin dan Anshar), pendeklarasian kerukunan umat beragama, penandatanganan piagam Madinah, hingga penegakan supremasi hukum melalui pemerintahan yang amanah, bersih, berwibawa, dan bermartabat.
Momentum pergantian tahun baru 1438H Hijriyah sudah semestinya menjadi tonggak perubahan atau transformasi. Sudah saatnya bangsa kita berubah (merubah diri) dari pemalas menjadi pejuang, dari pecundang menjadi pemenang, dari perusak alam menjadi pemelihara, dari mental dan budaya korup menjadi bermental amanah, jujur dan bersih. Yang sangat dibutuhkan oleh bangsa kita ke depan adalah membangun karakter (character building) yang tangguh.
Dengan meminjam kalimat Ibn Qayyim al-Jauziyya, Hijrah mendidik kita semua untuk tidak menghambakan diri kepada semua tujuan dengan menghalalkan segala cara, tetapi yang menjadi orientasi dan tujuan hidup kita adalah cinta dan taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Perubahan besar hanya dapat terjadi jika kita telah dengan serius “menghijrahkan” diri kita dari kondisi “Jahiliyah” (syirik, termasuk syirik politik, dan kebiadaban) menuju sistem nilai “Madinah” yang berperadaban dan berkeadaban. Wallahu a’lam bi al-shawab!