Sabtu, 08 Oktober 2016 | 10:09:00 WIB | Dibaca : 1384 Kali

Oleh Adi Sutrisno :

Jual Sabut Kelapa, Demi 500 Rupiah

Jual Sabut Kelapa, Demi 500 Rupiah Teks foto: Azka dan Azlan buah hati Adi Sutrisno

Setiap orang tentu punya pengalaman atau cerita masa kecil, baik itu tentang cerita suka, gemberia maupun duka. Pengalaman di masa kecil bisa menjadi sebuah iktibar atau pelajaran, bahwa untuk meraih sebuah kesuksesan butuh perjuangan panjang dan kerja keras.

Penulis punya cerita pengalaman masa kecil, yakni sebagai penjual sabut kepala kepada seorang toke kampung bernama Sui Tek. Langkah ini dilakukan semata-mata mendapatkan uang sebesar Rp.500,-, untuk uang jajan di sekolah selama satu pekan (meskipun kadang hanya cukup untuk empat hari saja).

Biasanya, “profesi” sebagai penjual sabut kelapa ini dilakoni Adi kecil setiap Minggu pagi dan sore, atau memasuki libur sekolah. Kala itu sekitar tahun 1987-an, Adi kecil masih kelas V di Sekolah Dasar Negeri 045 Papal Bantan Air, (kini sudah berubah nomornya, saya pun tak tahu nomornya).

Bersama seorang teman ku, bernama Kateni asli dari Pulau Jawa yang datang ke Pulau Bengkalis, tepatnya Dusun Papal, Desa Bantan Air. Sebagai anak perantau, bagi saya, Kateni adalah sosok anak yang ulet dan pekerja keras, tanpa kenal lelah untuk berjuang melayari bahtera kehidupan.

Meski dari pulau nun jauh di sana dan sudah taman sekolah dasar, namun Kateni punya keinginan kuat untuk belajar, terutama ilmu-ilmu agama, lantas beliau masuk ke madrasah di kampung ku bernama Madrasah Ibtidahul Huda (mohon maaf kalau salah sebut atau tulis). Lewat perkenalan ku dengan Kateni, ternyata banyak pengalaman yang diperoleh, sehingga mampu mengajari Adi kecil tentang bagaimana berjuang melawan kerasnya kehidupan, meskipun baru sebatas sebagai penjual sabut kelapa.

Adi kecil adalah sosok anak bertubuh kurus dan ceking, meski demikian soal prestasi akademik di sekolah, tidak kalah saing dengan anak-anak lain di kampung yang berlokasi di pesisir Selat Malaka ini.

Layaknya anak kecil di kampung, Adi diberi keleluasaan oleh orang tua untuk bermain permainan kampung, seperti bermain gasing, layang-layang, patok lele, bermain sambar elang, kelereng, karet atau bo hon, bermain hadang dan main gobak, berenang di laut. Kadang kami berenang di kolam masjid, akibatnya dikejar-kejar oleh pengurus masjid, karena air kolam masjid berubah warna menjadi coklat, padahal air tersebut digunakan untuk berwuduk ketika waktu shalat.

Pokoknya, permainan di masa kecil sangat asyik dan menyenangkan. Beda dengan anak-anak zaman sekarang ini, mereka lebih doyan dengan permainan serba instan, seperti game, PS dan android bahkan facebook. Tak, hanya di kota, anak-anak kampung zaman sekarang juga sangat minim mengenal permainan tradisional. Seperti keempat pendekar ku, mereka hanya disibukan dengan permainan game di android maupun laptop. Kendati kadang diselingi nonton film Upin Ipin, Pada Zaman Dahulu (kisah si Kancil) produksi Negeri Jiran Malaysia.

Kembali cerita tentang sabut kelapa. Kala minggu pagi tiba, Adi kecil bermodalkan sepeda mini berwarna merah, dan Katena menggunakan sepeda kargo, datang ke rumah sang toke untuk mengambil karung goni siam (berwarna coklat) sebanyak 15 buah. Mengapa jumlahnya ganjil, tidak harus 10 atau 20 karung.

Tentunya ini punya alasan sendiri. Tersebab, kondisi tubuh ku yang kurus ditambah sarana pengangkut milik ku hanya sebuah sepeda mini yang hanya bisa mengangkat satu karung sabut kelapa, makanya saya hanya sanggup pasang target 5 karung. Beda dengan teman ku, memang dari sono dikenal sebagai sosok pekerja keras ditambah lagi armada yang dibawanya sepeda kargo, sehingga mampu mengangkut 2 karung per trip.

Setelah mengambil karung dari toke Sui Tek, kami langsung menyelurusi kebun kelapa untuk mencari sabut yang dikupas oleh sang pemilik. Namun sebelum mengambil sabut kelapa untuk kami tukarkan dengan 100 rupiah, terlebih dahulu kami minta izin sama si empunya kebun kelapa. Begitu dapat sinyal lampu hijau, kami pun bergerak mengisi 15 karung goni siam.

Setelah karung terisi seluruhnya, tantangan dan tugas sangat berat menanti, yakni mengangkut karung berisi sabut ke tempat pembakaran kopra di belakang kedai Sui Tek. Maklum lah, tenaga Adi kecil, tergolong ringkih, karena poster tubuhnya yang kurus dan ceking. Bahkan untuk urusan menaruhkan karung sabut kelapa ke sepeda saja, harus dibantu sobatku Kateni.

Pernah suatu ketika, saat dalam pertengahan jalan, entah apa sebabnya, tiba-tiba sepeda yang dikendarai Adi kecil oleng dan langsung masuk ke parit. Untung saja paritnya tak dalam, makanya saya tidak luka. Hanya saja stang atau setir sepeda berdampak vatal karena patah pada sisi kiri. Itu pun masih bernasib baik alias untung --(biasa lah orang Jawa, udah kena musibah pun masih untung)-- lokasi tempat kami jatuh hanya sekitar 200 ratus meteri dari kedai Sui Tek, tepatnya di depan Madrasah Ibtidahul Huda, sehingga saya masih bisa meneruskan perjalanan menangkut sabut kelapa walau harus stang/stir sebelah kanan.

Setelah 5 trip mengantar sabut kelapa, sebelum kering di badan kering, kami pun meminta uang jasa ke salah satu anak Sui Tek, bernama Amir. Alhmdulillah, uang hasil jernih payah dan cucuran keringat sebesar Rp.500,- telah kami terima. Hati Adi kecil berbunga-bunga dan bahagia. Betapa tidak, ternyata tubuh ceking ini mampu menghasilkan uang sendiri, walau nilainya tak seberapa.

Rasa letih dan lelah menggelayuti tubuh ceking ini, terik semakin matahari menyengat, membuat perut semakin keroncongan. Lantas kami sepakat untuk pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat. Pokoknya hari pertama berprofesi sebagai penjual sabut kelapa, sangat melelahkan.

Siang itu ibu ku bernama Miskiyah, merasa heran melihat penampilan anak keduanya, terlihat lemah dan lunglai layaknya orang yang baru kerja keras. Awalnya, Emak (aku memanggilnya), tidak tahu musabab anaknya menjadi lunglai. Terlebih, usai mandi dan makan, Adi kecil tanpa basa basi langsung menarik bantal untuk refresh tubuhnya alias tidur siang. Sedangkan bapak ku bernama Badar, tidak ada di rumah, beliau sosok pekerja keras, mencari nafkah di Negeri Jiran Malaysia, makanya kami sering bersama Emak.

Akhirnya, Emak tahu kalau badan ku lungai dan letih karena barusan mengupah sebagai penjual sabut kelapa. Mengetahui hal itu, Emak tak marah, beliau sepertinya bangga mempunyai anak yang sejak kecil sudah punya keinginan untuk meringankan beban keluarga dan mencari uang sendiri.

Hari demi hari, minggu demi minggu terus berlalu, setiap momen libur sekolah, Adi dan Kateni kecil, seperti biasa memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengais rezeki sebagai penjual sabut kelapa. Hasilnya lumayan lah, bisa untuk uang jajan sekolah selam empat hari bahkan lima hari.

Seiring perjalanan waktu, ada semacam police alias kebijakan dari sang toke dan kebiasaan para pemilik kelapa. Police tak tertulis itu, yakni sabut kelapa tidak lagi dikupas, tapi buah kelapa dibelah langsung dicongkel oleh sang pemilik kebun. Begitu police dari sang toke, tidak mau menerima sabut saja tanpa dengan batok kelapa-nya.

Tentu kebijakan ini, membuat kami semakin kuwalahan untuk mengangkut satu goni/karung sabut kelapa, karena bebannya semakin berat. Betapa tidak, saat mengangkut sabut kelapa saja, Adi kecil sudah merasa berat, toh ini ditambah dengan batuk kelapa tentu semakin berat. Hanya saja harganya mulai dinaikan dari Rp.100 per goni, menjadi Rp.125,- per goni, lumayan lah bertambah jatah uang jajan kami.

Meski terasa berat, karena tuntutan untuk mendapatkan uang jajan tambahan, police tak tertulis itu itu tidak lantas membuat kami patah arang atau surut ke belakang. Kami tetap maju menjadi penjual sabut kelapa. Bahkan saking semangatnya, kami pernah meminjam gerobak milik sang toke untuk mengangkut sabut lebih banyak lagi. Kali ini, kami tidak hanya bersama Kateni, melibat sobat lain bernama Tukino alias Bagong dan Sarni alias Conteng. Tak juah berbeda dengan armada sepeda, hasil yang diperoleh menggunakan gerobak, karena upahnya harus dibagi empat.

Ada cerita menarik, saat mengisi sabut kelapa di gerobak. Kala itu seorang perempuan paroh baya bernama Lek Sinik (sekitar dua bulan lalu meninggal, red) berkata, “Mosok bapak e bos nang Malaysia, anak e gelem adhol sepet.” Omongan itu bukan membuat ku kecil hati, tapi membuat jiwa muda ku semakin semangat untuk membuktikan aku bisa. Lantas Adi kecil menjawab, “Bapak iso bos nang Malaysia, tapi anak e udhu bos.”

Sekelumit cerita tentang kehidupan ku ini, bukan ingin pamer tapi semata-mata ingin sharing alias berbagi kepada semua pembaca. Mudah-mudahan bisa diambil iktibar bagi orang tua, jangan pernah memanjakan anak dengan kemewahan, tapi biasakan anak-anak kita menjadi sosok yang tegar dan bekerja keras. Begitu juga anak-anak ku, sejak dini harus belajar kerja keras dan tekun.