Minggu, 13 Maret 2016 - 09:16:00 WIB - Dibaca : 3342 Kali

Menyorot Pelaksanaan MTQ Kita

Minggu-minggu terakhir ini, kalau boleh diistilahkan, merupakan minggu-minggu “musim” MTQ. Setiap desa di Kecamatan Bengkalis saling bergantian melaksanakan perhelatan bernunasa relejius ini tingkat desa setiap tahun ini.

Alunan musik kompang dan leguh legah bunyi mercon “memecahkan” langit bengkalis, mirip dengan suasana pada saat orang Tionghoa merayakan tahun baru Imlek. Para petinggi negeri menekan tombol sirene menandakan dimulainya acara MTQ.

Ibu-ibu dengan kostum yang indah dan menarik tampil di pentas astaka memukul rebana sambil menyanyikan lagu-lagu qasidah, yang menurut anak-anak muda adalah lagu-lagu “syurgawi”. Setelah acara berakhir, orang ramaipun bubar, kembali ke rumah masing-masing. Tinggallah di lokasi MTQ para dewan hakim, peserta MTQ, petugas teknisi sound system dan beberapa orang tua saja.

Inilah potret pelaksanaan MTQ kita yang modelnya hampir sama di semua tempat. Sebenarnya persoalan ini pernah saya tulis di Harian Riau Pos terbit tanggal 13/12/214 dengan judul “Plus Minus MTQ Kita”.

Melalui tulisan tersebut saya menggambarkan bahwa pelaksanaan MTQ kita memiliki sisi kelebihannya dan juga sisi kekurangannya. Diantara sisi kelebihannya antara lain;

(1) adanya dukungan dan partisipasi yang luar biasa dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah untuk melaksanakan kegiatan ini yang diyakini sebagai upaya mewujudkan syiar Islam. Masyarakat saling bekerjasama dan bergotong royong untuk menyukseskan perhelatan ini. Pemerintah mengalokasikan dana puluhan juta, ratusan bahkan milyaran rupiah untuk pelaksanan MTQ.

(2) Para qori dan qoriah mendapatkan pentas untuk mempertunjukkan bakat dan potensi mereka dalam melantunkan ayat-ayat suci al-Quran. Yang dengannya bila berprestasi akan mendapatkan penghargaan secara materi. Demikian pula dengan para dewan hakim, mereka bisa mengfungsikan ilmu dan pengetahuan Al-Quran yang dimiliki sebagai “pengadil” yang dengannya juga mendapatkan “barokah” dari pelaksanaan MTQ.

Sementara pada sisi lain juga ditemukan sisi kelemahannya, antara lain:

(1) Kenyataan menunjukkan pelaksanaan MTQ tidak bisa terlepas dari dimensi sosialnya sebagai sebuah eksibisi. Tidak jarang penyelenggaraan MTQ hanya mengedepankan aspek seremonialnya saja dan adanya indikasi kuat yang menunjukkan bahwa MTQ lebih menjadi ajang untuk mencari “populeritas” dan “reputasi” ketimbang dimensi syi’ar Islamnya.

(2) Tujuan MTQ yang dimaksudkan untuk menumbuhkan minat masyarakat dalam pembelajaran Al-quran tidak berbanding lurus dengan munculnya kader-kader baru dalam bidang per-MTQ-an. Penomena yang terjadi di masyarakat saat ini adalah sulitnya mencari para peserta MTQ untuk mewakili daerahnya. Akhirnya yang ikut musabaqah setiap tahunnya tidak berlebihan bila dikatakan adalah “wajah-wajah lama”. Dan yang jadi juara kadang-kadang “orang-orang itu saja”. Kenyataan ini ada hubungan dengan kelemahan dalam;

(3) Pembinaan terhadap calon peserta MTQ tidak atau kurang maksimal dilakukan. Pada sisi lain minat masyarakat hari ini untuk belajar al-Quran sudah semakin menurun. Sementara itu alokasi dana yang disiapkan oleh pemerintah untuk kegiatan per-MTQ-an sangat minim, uang lebih banyak dihabiskan untuk pelaksanaan MTQ sahaja.

(4) Pelaksanaan MTQ selalu sepi pengunjung, ramainya pada saat acara pembukaan saja. Akhirnya untuk menyiasati hal itu, panitia menyelenggarakan bazar dan acara door prize bersamaan pelaksanaan MTQ dengan maksud untuk memancing minat masyarakat untuk datang.

Seperti inilah sekilas potret dari pelaksanaan MTQ kita, belum lagi kalau kita pertanyakan apakah ada korelasi positif antara MTQ dengan berkurangnya sikap dan prilaku “negatif” di tengah-tengah masyarakat. Tentu saja kita sudah bisa menebak jawabannya.

Demikian sekelumit dinamika penyelenggaran MTQ kita, dinama tampak ada sisi kelebihan dan adapula sisi kelemahannya. Satu sisi kita sangat mengapresiasi perhatian dan kepedulian dari berbagai pihak terhadap penyelenggaraan MTQ terutama pemerintah yang telah mengucurkan dana miliyaran rupiah untuk pelaksanaan kegiatan keagamaan ini.

Namun pada sisi lain, masih ditemukan sejumlah kelemahannya sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Penyelenggaran MTQ harus dikembalikan kepada tujuan awalnya yang sangat ideal. Untuk itu harus ada kesadaran kolektif untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut.

Harus ditemukan terobosan-terobosan baru khususnya dalam hal pembinaan yang intensif dan berkelanjutan untuk mendapatkan kader-kader baru dalam per-MTQ-an. Jikalau tidak, MTQ hanya akan menjadi event seremonial tahunan yang tidak memberikan dampak positif baik bagi peserta MTQ maupun masyarakat Islam pada umumnya. Wallahu A’lam***

[infobox style="alert-custom green"]

Amrizal, M.Ag

Penulis adalah salah seorang dosen di STAIN Bengkalis juga aktif dibeberapa lembaga keislaman seperti NU, MUI dan LPTQ. Saat ini Ustadz yang pernah mengenyam pendidikan di UIN Suska Riau ini karya tulisnya sering dimuat dibeberapa media seperti Riau Pos. Facebook : Amrizal Isa[/infobox]


Berita Lainnya

Tulis Komentar